MERDEKA.COM. Munas Partai Golkar di Bali, berakhir, Rabu (3/11). Usaha keras Aburizal Bakrie untuk menduduki kursi ketua umum tercapai. Demikian juga dengan hasrat Akbar Tandjung untuk terus menjadi ketua dewan pertimbangan. Golkar yang diharapkan akan mengawali regenerasi kepemimpinan, malah menjadi contoh buruk partai lain.
Ya, harapan memang patut digantungkan ke Golkar. Dengan masa lalunya yang kelam dan segala kekurangannya, Golkar tetaplah partai paling tua. Perubahan-perubahan pasca reformasi menjadikan partai ini semakian matang. Struktur organisasi kuat yang ditopang oleh kader berkualitas, membuat partai ini bisa bertahan dan menang pemilu.
Hanya karena masa pergantian pengurus (munas) terjadi beberapa bulan setelah pemilu legislatif dan pemilu presiden, menjadikan partai ini penuh goncangan. Jika konflik internal akibat pencalonan anggota legislatif bisa diatasi, tidak demikian dengan dampak pencalonan presiden. Konflik internal malah menjalar di daerah seiring dengan rebutan calon kepala daerah. Inilah yang mendera Golkar.
Namun Golkar (juga partai lain) belum sampai pada kesadaran puncak: mengubah jadwal pergantian pengurus (munas atau muktamar) yang disesuaikan dengan jadwal pemilu. Siklus lima tahunan pemilu legislatif dan pemilu presiden, mestinya menjadi titik tolak untuk menentukan jadwal perubahan kepengurusan partai.
Partai bisa mengambil jarak cukup untuk menggelar munas, agar konflik pencalonan dari pemilu legislatif dan pemilu presiden, tidak menjerat emosi para kader dalam mengambil keputusan di munas. Dalam hal ini jarak setahun sampai dua tahun dari pemilu presiden merupakan kondisi ideal.
Namun yang jadi masalah, setelah tahun pemilu presiden, tahun-tahun berikutnya terjadi pilkada. Padahal pencalonan kepala daerah juga menjadi biang konflik internal partai di tingkat lokal. Pada titik inilah, pilkada serentak menjadi pilihan strategis. Oleh karena itu jadwal pilkada serentak harus dikalkukasi matang, agar mendorong partai berkembang sehat, sekaligus menjaga stabilitas politik lokal.
Mahkamah Konstitusi sudah memerintahkan, bahwa pemilu legislatif dan pemilu presiden akan diselenggarakan secara bersamaan pada 2019. Demikian juga Perppu No 1/2014 telah menjadwalkan pilkada serentak pada 2020.
Jadwal pemilu tersebut mestinya akan menjadi patokan kapan partai menggelar munas atau muktamar yang tepat untuk melakukan pergantian pengurus. Sudah pasti munas atau muktamar tidak bisa diselenggarakan dalam dua tahun pemilu tersebut. Makannya pilihanya adalah pergantian pengurus dilakukan pada tahun ketiga dalam siklus pemilu. Jika digelar tahun keempat, maka persiapan untuk pemilu legislatif dan pemilu presiden sangat mapet. Apakah partai sudah memikirkan hal ini?
Jadwal pemilu adalah salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi konsolidasi partai. Yang tidak kalah penting justru faktor internal: konsistensi kaderisasi. Jika hal ini tidak berjalan baik, maka sebesar apapun partai dan sekuat apapun struktur partai, pasti terkikis perubahan. Di sinilah partai lain bisa belajar dari Golkar.
Pertama, kaderisasi hanya jadi bualan, bila rekrutmen pengurus partai, rekrutmen calon anggota legislatif, dan rekrutmen calon pejabat eksekutif, hanya bersandar pada hubungan patron-klien yang bersumbu pada modal. Uang memang diperlukan dalam politik, tetapi jika menjadi uang sebagai satu-satunya alat ukur, maka bencana yang datang. Perolehan suara dan kursi Golkar dari pemilu ke pemilu adalah contoh nyata. Jatuhnya PKS dalam Pemilu 2014 adalah contoh lain.
Kedua, mengembangkan nilai-nilai demokrasi mudah diucapkan daripada dipraktikkan. Tetapi jika partai tidak menjalankannnya dengan sungguh-sungguh, siap-siap saja masuk kuburan: zaman yang akan menggali liang; demokrasi yang akan mendoakan.
Kejujuran dan keterbukaan adalah dua nilai yang tak terhindarkan dalam mengembangkan demokrasi. Seorang pemimpin bisa saja membohongi diri sendiri, membohongi koleganya, juga membohongi kaki tangannya. Tetapi, dia tidak bisa membohongi massa. Kenapa? Ya, karena dunia sudah berubah. Perubahan yang menuntut kejujuran dan keterbukaan lebih tinggi.
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telah mengubah tata hubungan ekonomi, politik, dan sosial budaya. Teknologi itu juga yang mengondisikan siapa saja untuk jujur dan transparan. Sebab jika pemimpin masih suka berbohong, tidak terus terang, suka menutup-nutupi keburukannya, maka semua itu justru menjadi tantangan bagi siapa saja untuk membongkarnya.
Begitu kebohongan terbongkar, maka hancur sudah kepemimpinan. Tidak hanya merusak reputasi seorang pemimpin, tetapi juga organisasinya. Tak hanya Golkar, partai lain harus siap menghadapinya.
Baca Berita Selanjutnya:
Menteri politik Jokowi berwatak Orde Baru
Bukan artis, Jokowi-JK tak buru popularitas
Jokowi harus kembalikan rel diplomasi
Belum move on, DPR makan gabut
Like us on Facebook | Follow us on Twitter | Follow us on Google+
Sumber: Merdeka.com
Komentar
Posting Komentar